SHARE

istimewa

CARAPANDANG - Ada yang berbeda pagi itu di salah satu rumah kawasan Panongan, Kabupaten Tangerang, Banten. Aroma dupa semerbak menyengat dari dalam rumah bercat merah jambu. Baunya menyeruak ke udara seolah menyatu dengan alunan dari alat musik teh-yan bernada melankolis.

Sejumlah hiasan bertema Tionghoa turut menghiasi sudut-sudut rumah beratap genteng tanpa eternit. Ini membuat cahaya mentari pagi leluasa menembus hingga ke permukaan lantai keramik. Lilin-lilin besar warna merah berdimensi panjang 1,5 meter dengan aksen aksara Mandarin turut menyempurnakan kesyahduan suasana di rumah yang terlihat lapang.

Rupanya pagi itu pasangan muda, Ongnih dan Suanda tengah melangsungkan pernikahan di kediaman orang tua mereka. Keduanya berjalan dalam pesona pakaian tradisional adat Tionghoa, mirip seperti kisah-kisah dalam film kungfu di layar perak. Kedua orang tua mempelai dengan setia turut mendampimgi bak dua pasang lilin yang terus menyala, menerangi jalan bagi anak-anak mereka.

Dengan penuh kasih sayang, mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk memastikan agar acara sakral bagi kedua buah hati dapat berjalan dengan lancar. Di atas beberapa meja kayu, dengan semangat penuh toleransi, tersaji hidangan siap santap untuk umat Islam di sudut satu dan di pojok lainnya pada meja makan tersendiri bagi nonmuslim.

Hari itu, mereka hendak menggelar upacara pernikahan menggunakan tradisi Cio Tao yang hanya tumbuh di kalangan masyarakat Tionghoa Benteng Tangerang. Di tengah serbuan modernisasi, Ongnih dan Suanda adalah dua di antara segelintir warga peranakan yang masih menjaga tradisi sakral para leluhur demi merajut masa lalu dalam harapan pada masa depan.

Dalam kehidupan sehari-hari didasarkan pada kepercayaan Buddha, mereka tetap setia menjaga serta merawat dengan penuh kehormatan nilai-nilai dan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Meski telah mengadopsi keyakinan baru, penghargaan terhadap warisan dan ajaran leluhur Konghucu masih menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan spiritual dan budaya mereka.

Ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini dalam perjalanan rohani yang terus berlanjut. Namun, saat ini pernikahan yang dijalankan dengan menggunakan tradisi Cio Tao sudah jarang digelar oleh masyarakat Tionghoa Benteng. Penyebabnya cukup beralasan lantaran semakin umumnya pilihan pernikahan yang lebih sederhana dan praktis.

Apalagi semakin banyak pasangan memilih rumah ibadat seperti vihara atau gereja sebagai tempat mengadakan upacara pemberkatan. Kemudian dilanjutkan dengan acara resepsi. Ini seiring semakin banyaknya masyarakat Tionghoa yang menganut Buddha dan Kristen. Itu membuat Cio Tao kemudian lebih dijadikan sebagai simbol dan warisan budaya yang dijaga serta berusaha dipertahankan oleh masyarakat Tionghoa Benteng.

Halaman :
Tags
SHARE