SHARE

Fuad Bawazier (dakta)

CARAPANDANG.COM – Presiden Joko Widodo melakukan blusukan bersama Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde, Senin (26/2/2018). Blusukan dilakukan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) dan Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Blusukan ini menimbulkan pro kontra tersendiri. Mengingat oleh beberapa kalangan, IMF dianggap biang kerok krisis ekonomi Indonesia di tahun 1998 yang terus menghebat.

Salah satu pihak yang kontra terhadap peran IMF adalah Fuad Bawazier yang merupakan Menteri Keuangan RI Kabinet Pembangunan VII. Lantas bagaimanakah testimoni dari Fuad Bawazier di kala krisis ekonomi terjadi di tahun 1998? Berikut kutipan pemikiran dari Fuad Bawazier:

Akibat kebijakan yang dikeluarkan IMF, utang luar negeri menumpuk, harta negara lepas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dijual, pengangguran tambah banyak, dan sebagainya. Kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan ekonomi kejahatan dan penipuan. Fakta ini tidak bisa diputarbalikkan. Sekarang bisa dilihat. Hasilnya sudah tampak. Apa lagi yang mau diperdebatkan? Kenyataannya, kita makin terpuruk. Apa yang bisa diandalkan Mafia Berkeley? Yang terjadi di Indonesia, ada mafia internasional yang bekerja sama dengan kaki tangannya di negeri ini, sehingga akhirnya seperti sekarang kondisi ekonomi babak belur tak karuan.

Ketika belang Mafia Berkeley mulai terungkap, mereka “seolah-olah” berbalik melawan Soeharto yang secara politik citranya memang sudah memudar di mata publik. Mereka bermain canggih. Mereka seolah-olah seperti kaum reformis. Mereka memutarbalikkan hal yang sesungguhnya. Akhirnya, jatuhlah negeri ini ke tangan IMF. Indonesia sebetulnya harus belajar dari Malaysia. Mereka tidak mau dipegang IMF. Selamatlah mereka. Padahal, Malaysia juga hendak dijarah IMF. Tapi, Malaysia lebih pintar. Mereka selesaikan sendiri. Sebaliknya, karena ada Mafia Berkeley yang menjadi kaki tangan IMF, akhirnya, terjadilah kompromi antara Soeharto dan IMF. Sejak saat itu, masalah krisis diserahkan ke IMF. Tapi, Soeharto hanya memberi waktu terbatas kepada IMF untuk menyelesaikan krisis di Indonesia. Langkah kompromi itu ditujukan agar tidak terjadi ketegangan antara Soeharto dan Widjojo Nitisastro. Maklum, mereka sudah kenal dan bekerja sama lebih dari 30 tahun. Sebagai orang Jawa, Soeharto merasa tidak enak mendepak karibnya itu begitu saja. Harus diakui, Widjojo memang orang yang ulet menempel Soeharto.

Dalam penyelesaian krisis, Mafia Berkeley dan IMF cuma memiliki waktu hingga Juni 1998. Itu adalah tenggat diam-diam yang diberikan Soeharto, kendati dirinya juga tidak yakin masalah ekonomi akan selesai pada tenggat tersebut. Sebagai new comer waktu itu, saya juga berpandangan dan menjelaskan hal yang sama kepada Soeharto. Masalah krisis tidak mungkin diselesaikan IMF dalam waktu singkat. Kenapa? Pertama, resep yang dijalankan IMF umumnya justru memperparah kondisi yang ada. Kedua, sekali IMF datang ke suatu negara khususnya Indonesia, kalau tidak dipaksa keluar, mereka tidak akan meninggalkan Indonesia. Mereka akan terus “memperkosa” kita. Seperti praktik dukun cabul, datang tidak mengobati, tapi malah ngerjain kita. Betul juga ternyata Soeharto dijatuhkan lebih cepat. Mei 1998, Soeharto jatuh. Padahal menurut rencana, IMF akan dibubarkan Soeharto seperti halnya dia membubarkan International Government on Group Indonesia (IGGI). Sejatinya, pemikiran Soeharto ada benarnya. Krisis tidak bakal selesai pada tenggat yang ditentukannya. Akhir Juni 1998, IMF tidak akan bisa menyelesaikan masalah di Indonesia. Artinya, pada titik ini, sebetulnya, Soeharto sudah memberi kesempatan IMF selama enam bulan sejak awal 1998. Ternyata, IMF memang tak dapat menyelesaikannya dan dengan alasan ini rencananya Soeharto akan melengserkan IMF.